Minggu, Maret 18

Belajar(Sekolah) untuk Bahagia dan Sukses Sejati

IMG SEBUAH survey dilakukan kepada wali murid dan stakeholder saat memasukkan anak di sekolah dengan pertanyaan untuk apa anak disekolahkan di sekolah kita, apakah jawaban mereka? Jawabannya bermacam-macam misalnya untuk kebahagiaan, memiliki kepercayaan, kepuasan, pemenuhan, jadi orang berguna, memiliki cinta kasih, menjadi beradab dan sebagainya. Semua jawaban ini bisa dikelompokkan bahwa stakeholder ingin anaknya bahagia.

      Jawaban kelompok lain atas pertanyaan yang sama bisa seperti ini, agar supaya anak berprestasi, keterampilan berpikir, sukses, siap kerja, berpendidikan, faham matematika, bahasa Inggris dan komputer, bisa bekerja, disiplin, diterima di sekolah favorit selanjutnya, diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) ternama dan sebagainya. Jawaban ini bisa dikelompokkan bahwa Stakeholder ingin anaknya bahagia.

      Kalau survey ini benar dilakukan maka kita akan memiliki langkah yang jelas sesuai dengan permintaan customer atau peminat pendidikan. Dan hasil survey dari beberapa kota besar di Indonesia pilihan pertama yang dominan dengan prosentase cukup signifikan. Dengan mengetahui tujuan yang ingin diraihnya secara jelas misalnya untuk Sukses dan Bahagia sekaligus, maka strategi, pendekatan bahkan material apa yang semestinya diberikan dapat mendukung tujuan yang sudah ditetapkan, tanpa harus bertabrakan dengan kurikulum formal Diknas Pendidikan.

      Definisi sukses adalah mencapai apa yang diinginkan, meraih apa yang dituju. Sehingga tujuan itu sangat penting karena tujuan itu penentu sukses atau tidak sukses. Setiap anak, setiap manusia berbeda-beda dalam kesuksesannya, itu semua sesuai dengan target dan tujuannya masing-masing. Sebagai contoh, anak dengan target keinginan mendapatkan nilai 9, ternyata dia mendapatkan nilai 8, maka anak ini tdiak puas, tidak ‘sukses’. Sementara anak lain dengan target 7 dan mendapatkan angka 7 atau 7,5, dia sangat puas dan sukses. Walaupun secara realita 8 lebih besar dari 7. Demikian juga dalam reward atau hadiah.

     Juara kelas itu yang dinilai adalah angka-angka murni bukan prosesnya. Anak dengan rata-rata 8 semester 1, lalu semester 2 mendapatkan 7,8. Apabila dia adalah rata-rata tertinggi dalam kelas, maka dialah juaranya, dialah yang layak mendapatkan reward, hadiah, trophy, maju kedepan dan seterusnya.

     Sementara anak lain dengan nilai rata-rata raport 7,0 (semester 1), lalu semester 2 mendapatkan rata-rata 7,5 tetap tidak akan mendapatkan reward, motivasi, dorongan karena kesuksesannya selama ini. Lalu bagaimana anak-anak yang ‘low’, kapan dia mendapatkan reward yang cukup? Padahal dalam setiap kelas selalu ada anak yang Atas, Tengah, atau Bawah. Anak ‘atas’ dengan kesuksesannya sendiri, yang tengah juda yang bawah, Inilah yang dinamakan Kesuksesan itu ‘Individual’.

      Multiple Intelligence dan Sukses Individual

Sukses itu individual, sebab setiap manusia punya talenta yang berbeda-beda dan beraneka ragam, sesuai dengan keadilan dan kemahakuasaan Tuhan. Dengan perbedaan sifat, kecerdasan, talenta, maka akan saling membutuhkan satu dengan lain, satu bagian dengan bagian lain. Contoh dalam suatu acara, maka perlu ahli sound system, dekorasi, pembawa acara, ahli tata rias, ahli makan dan seterusnya. Kesuksesan dan keindahan sebuah acara itu terjadi bila bagian-bagian itu memaksimalkan fungsinya di tempatnya masing-masing, the right man on the right place.

      Itulah sebenarnya yang diharapkan oleh konsep Multiple Intelligence dalam implementasinya di kelas. Howard Gardner mengatakan kecerdasan merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita, dan bukan tergantung pada nilai IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.

      Kita bisa mencontohkan apakah Einstein akan sukses seperti itu bila dia masuk di Jurusan Biologi atau belajar main bola dan musik? Kelas masalah fisika teoritis Einstein, Max Planck, Stephen Hawking, Newton adalah jenius-jenius, tetapi kalau di olahraga maka Zidane, Jordane, Maradona adalah jenius-jenius di musik. Thomas A. Edison adalah jenius lain, demikian juga dengan para sutradara film, bagaimana mereka mampu membayangkan harus disyuting bagian ini, kemudian setelah itu, adegan ini, yang mesti keluar dengan pakaian jenis ini, latar suara ini, dan bahkan dialog seperti itu, ini adalah jenius-jenius bentuk lain.

      Ada 9 kecerdasan manusia menurut Howard Gardner dengan Multiple intelligencenya yaitu: 1) Intelegensi Linguistik, 2) Inteligensi Matematis-Logis, 3 Intelegensi Ruang-Spasial 4) Intelegensi Kinestik-badani, 5) Intelegensi Musik, 6) Intelegensi Interpersonal, 7) Intelegensi Intrapersonal, 8) Intelegensi lingkungan/naturalis (Perkembangan selanjutnya dari 7), 9)Intelegensi eksistensial.

      Howard Gardner mengatakan walaupun diidentifikasi ada sembilan kecerdasan untuk sementara waktu ini, tetapi mesti diingat bahwa pada dasarnya kita memiliki kesembilan kecerdasan itu, dengan komposisi dan proporsi yang berbeda-beda. Tetapi sebagian lebih menonjol dibanding sebagian yang lain b) Orang pada umumnya dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai, c) Kecerdasan pada umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang komplek. Kecerdasan selalu berinteraksi satu sama lain Untuk bermain bola misalnya, seorang pemain bola, semacam Zidane, disamping punya kecerdasan kinestetik jasmani, mereka pasti memiliki kecerdasan spatial (control bola panjang, tendangan volley, mencari posisi dan lain-lain)juga kecerdasan interpersonal, bekerjasama dengan team, mengoperkan bola ke kawan untuk dimasukkan, bukan individual, juga matematis logis, mengira-ngira kecepatan bola, dengan langkah-langkah dia dan seterusnya, d) Setiap kecerdasan keluar dengan berbagai macam cara dan variasi. Orang bisa tidak mampu berpidato (linguistik), walau ia sangat piawai dalam bercerita. Orang mungkin tidak mampu berolahraga dengan baik (kinestik), walau ia sangat mahir dalam merajut atau lainnya (Armstrong, 2000;16-18)

      Dalam Implementasinya di kelas dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak ada anak yang gagal, low, bodoh. Yang ada adalah gaya mengajar guru tidak sama dengan gaya kecendrungan kecerdasan siswa. Maka di dalam proses belajar-mengajar, guru harus menyesuaikan gaya mengajarnya sesuai dengan gaya kecerdasan siswa. Dalam organisasi dikatakan, none of the employee fails, but onlu they are wrongly place, pada dasarnya tidak ada karyawan bodoh yang ada hanyalah salah ditempatkan (Selengkapnya bagaimana memasukkan itu ke dalam Lesson Plan. RPP dan Disain mengajarnya lihat buku kami, Elexmedia:2011)

      Karenanya untuk sukses kita perlu Discovering Ability, temukan mana kecendrungan kecerdasanmu, yang dominan, talenta aslimu, kecendrungan kepribadianmu. lalu pilih tempat yang tepat. Right Place (pilih jurusan yang benar saat di SMU, memilih jurusan IPA atau IPS). Lulus SMU memilih jurusan yang tepat, pekerjaan yang tepat). Bila itu dilakukan dengan keseriusan yang memadai, maka sukses yang mudah didapat. Sebab sesuatu yang built-in, given kecendrungan kita, itu biasanya mudah sekali kita lakukan, kita kerjakan.

      Kebanyakan orang mengalami kegagalan hidup bukan karena kurang cerdas atau kurang beruntung. Namun itu semua dikarenakan mereka tidak atau kurang memiliki Tujuan Hidup atau Mimpi yang jelas untuk dicapai. Dalil Matematika mengatakan, garis lurus adalah jalan terpendek untuk mencapai suatu titik (tujuan). Makin lurus tujuan kita, makin pasti tujuan kita, maka makin pendek jarak sukses itu pada kita. Sekali lagi, Discoring ability, right place, maka sukses akan mudah didapat.

*) Guru/dosen, Alumni Pasca Sarjana Univ. Brawijaya Malang, UM Malang, studi lanjut di Departemen Psikologi, Motivator, Trainer SMI(Spritual Multiple intelegence), CMI…

Tidak ada komentar: